Notulensi Diskon (Diskusi Kontrakan): “Politik Pangan Adat”

Notulensi Diskon (Diskusi Kontrakan): “Politik Pangan Adat”

Nama Kegiatan : Diskusi Kontrakan |
Tema : Politik Pangan Adat|
Pemateri : Ruby Nur Adila|
Hari/Tanggal : Minggu,16 Februari 2020|
Tempat : Kontrakan ceria (Gang buntu RT 5, jetis sawahan, Kec.
Kasihan, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta|
Peserta : Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta&Umum|
Notulis 1 Muhammad Fathi Ramadhan
2 Lathif Qurba Saputra|

Indonesia adalah Negara yang kaya akan adat istiadat dan kebudayaan yang beragam. Adat adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan pangan. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dan merupakan hak asasi manusia rakyat Indonesia yang harus di lindungi oleh pemerintah. Pangan sangat berperan penting dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dalam pembangunan nasional. Disisi lain adanya politik juga memberi pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia terkhusus dalam bentuk kebijakan pemerintah. Tentunya ada korelasi antara ketiganya dan saling mempengaruhi. Dilansir dari Kompas.com dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ahmad Arif berjudul “Masyarakat Adat, Penjaga Keragaman Pangan” bahwa Masyarakat adat menjadi benteng terakhir penyelamatan keragaman tanaman pangan di Indonesia. Pola penanaman beragam jenis tanaman lokal pada masyarakat adat juga menjadi kunci ketahanan pengan dan keseimbangan nutrisi mereka. Masyarakat adat juga memegang peranan penting dalam pengadaan pangan di Indonesia tersebut.
Sungguh indah ketika Indonesia mempunyai beragam jenis budaya termasuk keberagaman pagan adat dan tidak diseragamkan oleh pemerintah. Akan tetapi kebudayaan dengan kearifan lokal(pangan adat) sengaja mulai digeser oleh pemerintah, bagaimana tidak dengan adanya politik di Indonesia yang belum dewasa masih membawa kepentingan golongan dan masih terkungkung oleh oligarki, tentunya dengan adanya kepentingan-kepentingan politik, pemerintah sering kali membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Padahal sejatinya diadakanya pemerintah adalah untuk memakmurkan seluruh warga negaranya bukan hanya golongan tertentu saja. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung menggeser kearifan lokal sangat berdampak untuk kelangsungan kehidupan yang akan datang, miris ketika anak dan cucu kita hanya bisa melihat kekayaan dan keberagaman budaya adat istiadat lewat video dan tayangan televisi saja tanpa melihat dan merasakan langsung. Maka pentingnya Gerakan Gerakan kerakyatan yang menuntut dan melawan segala kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang nyeleneh dan keluar dari nilai nilai kemanusiaan.
Permasalahan pengadaan pangan di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Mulai dari penurunan kualitas hasil pangan, makin sedikitnya masyarakat yang berprofesi sebagai petani pangan dan pengelola hasil pangan, sampai pada berkurangnya ketesediaan lahan untuk penanaman tanaman pangan akibat dampak pembangunan sosial. Salah satu yang berdampak besar yang langsung dirasakan yaitu semakin berkurangnya ketersediaan lahan. Lahan-lahan luas terbuka yang seharusnya difungsikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan masyarakat malah dialihfungsikan untuk pembangunan gedung-gedung pencakar langit, hotel, kantor, perumahan dan lain sebagainya.
Kita lihat Politisasi pangan adat dan suatu ketimpangan yang terjadi di lingkungan masyarakat adat, kita bisa melihat data dari MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) bahwa semenjak tahun 2001 telah terjadi alih fungsi lahan seluas 1,2 juta hektar menjadi perkebunan sawit, pertambangan hingga pembangunan. Alih fungsi lahan dalam skala besar ini tentu saja membuat banyak masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam yang ada terkhusus dalam ketergantungan pangan yang tumbuh secara liar dialam seperti sagu, singkong, dan lain-lain menjadi kesulitan dalam memperoleh kedaulatan atas pangan mereka sendiri. Belum lagi pemerataan pangan yang sudah dilakukan semenjak era orde baru untuk mengkonsumsi nasi sebagai pangan utama di seluruh Indonesia, padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman termasuk pangan itu sendiri. permasalahan bukan hanya itu saja, beberapa kondisi lingkungan alam beberapa daerah juga sangat sulit mengakses beras atau bahkan mengolah padi untuk menjadi beras, dalam film made in siberut karya watchdoc terdapat sebuah kisah bahwa di Kepulauan Mentawai kerap gagal menanam padi karena sebagian besar tanahnya adalah jenis gambut sehingga mereka cenderung bergantung pada pasokan pangan dari dataran Sumatera. Jelas permasalah-permasalahan ini sangatlah merugikan masyarakat bagaimana tidak? Jelas kita semua dapat menilai bagaimana suatu hak atas pangan mereka terlanggar. Dan bukannya tak ada aksi protes yang diajukan masyarakat setempat, masyarakat sulit melawan politisasi atas pangan masyarakat adat, pihak-pihak yang berwenang dan hukum yang berlaku tidak berpihak pada masyarakat adat tersebut, berdasarkan UU No.26 tahun 2000 bahwa HAM yang bisa ditindak hanyalah pelanggaran HAM berat sementara dalam konteks politisasi pangan adat hanya dianggap sebagai kasus pelanggaran HAM ringan, bagaimana tidak bahkan untuk sekelas kasus Semanggi I dan Semanggi II disebut-sebut bukan merupakan pelanggaran HAM oleh Jaksa Agung dan DPR. Kembali ke topik, jadi secara formilnya masyarakat tidak memiliki legal standing namun secara materill masyarakat memilikinya.
Lantas bagaimana kita sebagai masyarakat umum menyikapi hal ini? tetaplah kita berpihak kepada yang haq, jangan pernah melupakan rakyat kecil yang tertindas terlebih dari daerah 3T seperti masyarakat adat tersebut bersama kita bela mereka. Jika sekarang kita kalah dalam memperjuangkan kebenaran dan sulit untuk memperjuangkan kemenangannya maka jangan sampai kita menjadi patah semangat dalam memperjuangkan ketimpangan-ketimpangan seperti ini lalu membuat kekalahan semakin besar, buatlah perjuangan sebelumnya menjadi lebih berarti dengan tidak menjadi kalah telak dan terakhir banyak cara kita untuk berjuang dengan membaca, berdiskusi, menulis, aksi, dan masih banyak lagi,.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *