Bulan: Januari 2017

Karena Dia Solehah

Karena Dia Solehah

Suasana pagi itu amat damai. Amir berdiri di balkoni rumahnya. Matanya memandang langit sambil bibirnya basah dengan zikrullah. Amir amat berharap agar pilihannya adalah yang terbaik. Sumayyah. Namanya indah, seindah akhlak pemiliknya. Amir tentunduk malu apabila nama wanita itu menyapa benak fikirannya. Rasa malu kepada Allah kerana merindui wanita yang belum halal baginya.
Amir pernah bertemu wanita itu sekali. 4 tahun yang lepas. Memang sudah lama. Semasa mereka bertunang pun Amir tidak mahu memandang Sumayyah. Bukan apa. Dia terlampau malu waktu itu. Bagaikan ada batu besar yang menghempap kepalanya untuk menghalang matanya melihat bakal isterinya itu.
Kenangan lama berputar kembali. Amir sendiri tidak menjangka bahawa dia dan Sumayyah mempunyai perasaan yang sama. Alhamdulillah. Atas ketentuan Allah, Amir dan Sumayyah mengikat janji untuk hidup bersama suatu masa nanti. Amir memilih Sumayyah bukan kerana rupa. Tetapi kerana kesolihannya. Amat terserlah pada diri Sumayyah.
Kenangan itu berlalu pergi. Terlalu indah untuk diingati. Amir memandang jam di tangannya. Tepat menunjukkan jam 8.30 pagi. Tanpa melengahkan masa, Amir terus siapkan dirinya untuk menunaikan solat sunat Dhuha. Doa dipanjatkan kepada Allah supaya dilimpahkan rezeki yang halal. Lalu Amir bangun dan mengerjakan solat sunat Istikarah pula. Amanat yang selalu dipesan oleh Murobbinya, supaya apa yang kita lakukan lebih terarah seiring kehendak Allah SWT.
Tanpa melengahkan masa Amir terus bersiap-siap pergi ke pejabat. Dia mahu datang awal kerana kerjanya di pejabat masih bertimbun. Kebetulan semasa Amir ke pantry untuk membuat air, dia terserempak dengan Alif. Amir mengambil peluang ini memberikan kad undangan ke walimatulurusnya bersama Sumayyah.
Kebetulan, Alif merupakan lelaki yang selalu berhubung dengan Sumayyah atas perkara-perkara yang berkaitan dengan Kelab semasa di kolej dahulu. Jadi tak hairanlah kawan Amir ini banyak tahu tentang Sumayyah.
“Biar betul kau dengan Sumayyah dah bertunang?” Alif bertanya dalam keadaan sedikit terkejut. Amir hanya membalas dengan senyuman sebagai respon.
“Jaga-jaga tau. Sumayyah ni badannya besar. Nanti kalau menikah, dia tolak kau cepat je rebah. Hahaha,” Alif gelak besar. Amir tergelak kecil. Sekadar meraikan sahabatnya. Amir menganggap apa yang diucapkan itu hanya gurauan.
“Mana kau tahu dia berbadan besar?” Amir bertanya kembali.
“Yalah. Kau tengok sendirilah cara pemakaian dia. Apa yang dia pakai semuanya nampak besar. Dah sah-sah dia tu besar,” Alif tergelak kecil. Amir sekadar senyum.
“Sahabatku. Bukankah jilbab itu fungsinya untuk ‘cover up the aurat’. Bukan untuk ‘show off the aurat’. Tak lah namanya jilbab jika orang lain boleh nampak bentuk tubuhnya. Benar. Pada zahirnya kita nampak dia itu besar. Mungkin ya, dan mungkin tidak. Wallahulam. Tapi benda tu semua tak penting bagi aku. Yang penting dia solehah,” Amir menepuk bahu Alif dan berlalu pergi. Alif terpinga-pinga. Tak sangka ayat itu yang akan terkeluar dari mulut sahabatnya.
LAGI beberapa jam sahaja lagi saat bersejarah itu akan tertulis dalam kamus hati Amir. Hati Amir semakin berdebar-debar. Malu, gembira, takut, semuanya bercampur baur dalam 1 rasa. Hanya Allah sahaja yang mampu menterjermahkan perasaannya di waktu ini. Ibu Amir lah orang yang paling sibuk. Kehulu, kehilir bagi memastikan apa yang dirancang akan berjalan lancar. Sungguh besar jasa ibu dalam kehidupannya.
Pada jam 10 pagi, Amir dan keluarganya sudah bertolak ke Masjid. Pada pukul 10.15 majlis akad nikah akan berlansung. Amir mengambil tempat di depan ayah Sumayyah. Ayah Sumayyah tersenyum. Berkurang sedikitlah perasaan gentarnya saat itu. Lepas beberapa minit Sumayyah pula mengambil tempat di belakangnya. Amir tak berani menoleh ke belakang walaupun 1 darjah. Perasaan malu membekukan dirinya saat ini.
Yogyakarta, 22 Desember 2016
Oscarinda Savitri
Wanita

Wanita

senyum mu menggetarkan dunia
bagaikan api yang melelehkan besi
kau mahluk tuhan yang unik cantik, menarik, menawan
kau di ciptakan dari tulang rusuk adam
begitu hebat nya dirimu

air mata mu air mata cinta
kelembutanmu seperti sutera
kasih sayang mu melebihi samudera
cinta kasih mu tak ada batas nya

kau bukan ibu kartini
 kau bukan cut nya dien
 tapi kau wanita yang hebat
 wanita yang kuat
kaulah wanita indonesia
 wanita yang sangat mulia
 otot bukan senjata mu
 pedang bukan sifatmu
 cinta, kasih, sayang lah senjata terdahsyatmu
 itulah jiwa dan hatimu
kau genggam dunia dengan senyummu
 kau kepal samudera dengan kelembutanmu
 tunjukkan pada dunia bahwa kita bisa
 tunjuk kan pada semua orang bahwa kita mampu
 tunjukkan pada laki-laki,wanita itu bukan mahluk yang lemah
 tunjuk kan pada negara kita juga bisa berkarya
 tunjuk kan pada tuhan aku bukan mahluk yang cengeng.
 
 Yogyakarta, 22 Desember 2016
Anita Firdaus
Mimpi Buruk

Mimpi Buruk

di pembaringan aku mengerang
kesakitan yang tiada tertahan
habis badan dimakan tangis
tertelan kepedihan semasa hidup

tak ada sanak saudara yang mendekat
habis harta benda
habis pula perjumpaan

malam berganti siang
hari berganti minggu
minggu berganti bulan
dan sepanjang tahun kesedihan
tak beroleh mimpi indah

“derita dibadan bukan tanpa alasan
ini sebuah kutukan. kata pria dalam cermin
yang menghadapku penuh
dengan dendam”.

tawanya menyayat hati
meremukkan seluruh persendian
melemahkanku yang nyata tak berdaya ini

dihempaskannya jauh kedalam jurang masa lalu
diungkitnya lagi kerasnya hidup
ditimang-timang kekejamanku
pada gadis yang baru hendak beranjak

tapi aku tak dapat berbuat banyak
sebab bergerak tak lagi kuasa
mulut serasa tersumpal nyawa
yang hendak pergi meninggalkan raga
hanya gumam, membatin sekenanya
berharap ia dengar

sepenuh bumi menjalankan perintah ilahi
nyata sumpahku
bukan, bukan aku pelaku
yang sungguh keji itu

tapi kaulah bajingan itu
yang mematahkan kuncup dari tangkainya
maka pantaslah aku mengutukmu
tak sudi aku makan sisa
terlebih itu datang dari padamu

penderitaan dan kesakitan ini
memang hendak kukabarkan padanya
agar kami berbalas cacian

ia suci bagiku
sebelum mawar itu kau siram
lumpur dari mangkuk sajimu

selepas kau bertunggang kuda
remuk aku, patah rusuk
yang ada didada
tempat penggantungan hidup

kini kau jadikan ia lacur birahi
tempatmu menyimpan harta
menyentuhnya bila perkara diluar
tak dapat lagi kau bayar

anak anak yang lahir
tak membawa dosa
sebesar zarahpun
dari warisan kesakitan itu

kau jual guna membayar hutang judi
dan rumah rumah penyedia minuman

anak-anak itu tumbuh tanpa sayang
besar tanpa pernah merasa nikmatnya menjadi bayi
yang digendong susu ibu kandungnya

setelah pertobatanmu yang menyakitkan
hendak kau kembalikan padaku
dengan seluruh kebohongan
diujung senyum kejimu

tak kusangka neraka begitu dekatnya
telah kulihat api jiwaku
hendak melumatmu
menenggelamkan amarah terhadapmu
adalah kesia-siaan hidup
diujung pagi cerah ini

lekas aku bangun
dan pergi kerumah kekasihku
kudapati ia
sedang sangat cinta padaku
dan memetik janji
akan menjaga diri
sampai kukembali
menjemputnya lagi.

Yogyakarta, 11 Januari 2017
Ade Juniara

Dinamika dan Identitas Kader IMM

Dinamika dan Identitas Kader IMM

Kader dalam tubuh ikatan merupakan sosok penting dalam perjuangan organisasi IMM, menjadi seorang kader artinya menjadi sosok yang di tuntut mampu dalam mengemban tugas dan amanah yang IMM cita-citakan. Namun dalam realita yang terjadi, banyak dinamika dalam tubuh ikatan yang melahirkan dampak negatif. Hal ini pula yang menjadi PR di dalam tubuh IMM untuk melahirkan sosok IMMawan dan IMMawati yang tangguh dalam berjuang.

Sesungguhnya peran seorang kader akan benar benar bermanfaat ketika ia mampu mengemban amanah dengan baik yakni dengan praksis turun ke bawah. Memiliki kesadaran kritis dan mempunyai pisau analisis yang tajam dalam membaca situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan lingkungan sekitar menjadi hal mutlak yang harus di miliki setiap kader IMM, salah satu contoh adalah tindakan kesewenang-wenangan pemerintah dalam hal penggusuran pemukiman warga yang di lakukan di daerah pantai Parangkusumo . Hal ini pula yang mampu mendorong terjadinya perubahan positif jika dalam suatu lingkungan dan sistem sudah tidak sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Kader dalam tubuh IMM identik sebagai basis perjuangan dalam tubuh ikatan, yang nantinya di harapkan mampu terjun langsung ke masyarakat dan menerapkan trilogi IMM (Religiusitas, Humanitas dan Intelektualitas) dengan bijak.

Namun banyak pergolakan yang terjadi jika ditilik lebih dalam, salah satu masalah yang terjadi di kalangan beberapa kader adalah kurangnya minat dalam mengkaji suatu permasalahan dalam lingkup sekitar, contoh kecil adalah lingkungan kampus dengan sistem bobrok yang tidak pro terhadap mahasiswa. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran subyektif setiap kader IMM untuk membenahi permasalahan seperti ini dan turut mengevaluasi apa yang seharusnya tidak terjadi di dalam tubuh ikatan.

Berangkat dari permasalahan tersebut, tidak jarang pula banyak di antara kader IMM yang telah berdiaspora dalam beberapa lembaga legislasi. Bukan menjadi persoalan politik ketika salah seorang kader yang berdiaspora dalam kelembagaan dan menjabat pada sektor tertentu, namun identitasnya sebagai seorang kader tidak lantas hilang begitu saja, dengan mengamalkan ilmu dan mengimplementasikannya dengan bijak dan membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat dari pendiasporaan tersebut. IMM sebagai salah satu organisasi gerakan Islam yang juga di nanungi oleh tubuh besar persyarikatan Muhammadiyah, maka segala hal yang berkaitan dengan Muhammadiyah haruslah benar benar di pahami dan di amalkan.

Teologi al mau’un sebagai suatu nilai dasar yang di pelopori oleh K H Ahmad Dahlan juga menjadi dasar filosofis dari organisasi gerakan IMM dan menjadi faktor fundamental yang harus di pahami oleh setiap kader IMM, oleh sebab itu setiap isu yang akan di bangunpun harus mengedepankan bentuk keadilan dan keberpihakan terhadap kaum mustadhafin. Seorang kader yang yang tidak memahami suatu nilai dasar tersebut patut di pertanyakan keberpihakan terhadap IMM khususnya Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin.

Salah satu hal yang perlu di garis bawahi adalah trilogi IMM sebagai pola gerakan penting untuk di pahami setiap kader yang telah mengikuti jenjang pengkaderan awal (DAD) dan perlunya diskursus lintas kader agar lebih memahami IMM sebagai suatu organisasi pergerakan Islam. Bahkan bila perlu, diskursus lintas organisasi pergerakan agar bisa mengukur apa yang kurang dalam tubuh IMM dan  apa yang harus di bangun agar tetap terjaganya ghirah kader IMM sebagai bagian dari perjuangan yang cita-citakan Muhammadiyah.

“Kesalahan orang-orang pandai adalah menganggap orang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh adalah menganggap orang lain pandai” -Pramoedya Ananta Toer-

Yogyakarta, 11 Januari 2017
Rionaldi

(Kabid Kader IMM FH UMY)

Rasa Asin(g)

Rasa Asin(g)

Sengsara rakyat dibuatnya,
Seolah pendidikan
Bukan kebutuhan
Juga mandat konstitusi.

Perilaku menyimpang
Marak dipertontonkan
Oleh elit nasional.

Subsidi dua puluh persen
Untuk pendidikan
Lari dari pandangan.

Akulah anak ibu pertiwi
Yang dikandung bangsa asing.
Akulah yang berhak
Atas warisan tambang
Dan lahan.

Akulah yang telah menabur garam
Dan kembang
Di atas kubur pribumi.
Akulah asing itu
Yang sudah kau maki.

Ade Juniara
08 Januari 2017

Terkait Penggusuran di Parangkusumo

Terkait Penggusuran di Parangkusumo

Saya dipaksa menulis artikel ini. Hanya karena saya pernah membaca artikel terkait, beberapa kali terlibat diskusi dan sekali berinteraksi secara langsung dengan warga disana, pun dalam acara yang digelar bersama-sama dengan kawan-kawan lainnya.

Mau menulis judul yang sifatnya pemberitaan, saya malu karena saya sendiri pun masih kurang informasi terkait penggusuran di Parangkusumo. Mau menulis opini dari sudut pandang sepihak kok rasanya juga tidak adil. Mau menulis sesuatu yang sifatnya keberpihakan kok takut salah, karena saya selalu meyakini dalam keburukan ada kebaikan, pun sebaliknya.

Menulis judul ini lebih parah lagi sebetulnya karena saya juga sebenarnya tidak paham benar, tidak pula melakukan advokasi ataupun hal-hal heroik yang dilakukan kawan-kawan lainnya. Sepertinya lebih cocok kalau nulis hal lain yang judulnya berkaitan dengan pergantian tahun karena artikel ini saya tulis pada saat penghujung tahun 2016.

Saya mahasiswa hukum. Pintar juga tidak. Aktivis yang totalitas juga belum. Masih cemen, cengeng. Diajak rapat sampai pagi kadang masih terkantuk-kantuk, ada agenda hari libur masih suka cari-cari alasan buat tidak ikut. Kalau mau tanya saya apa sebenarnya? Ya cuma mahasiswa kutu kupret biasa sajalah.hahaha

Back to topic, sekali lagi walaupun judulnya begini saya sejujurnya juga tidak memahami yang terkait penggusuran di Parangkusumo. Terkait regulasi, kaitan keistimewaan Yogyakarta dengan Sultan Ground dan Pakualaman Ground, UUPA, tawar-menawar antara pemerintah dengan warga terdampak Penggusuran Gumuk Pasir.

Saya baru belakangan menyadari, betapa banyak permasalahan pertanahan di Negeri Indonesia sendiri. Dari Sabang sampai Merauke pada menuntut, minta merdeka lah, minta jangan digusur lah. Kalau mau dibahas semuanya bisa panjang sekali. Jadi lebih sempit lagi kita bahas Yogyakarta, kota romantis tempat kelahiran saya.

Yogyakarta yang terkenal dengan Bakpia nya, Gudeg nya, Tugu nya, Malioboro, Pasar Beringharjo, serta keramahan orang-orang asli Yogyakarta sendiri rupanya juga menyimpan permasalahan serupa. Kalau mau baca tentang informasi penggusuran Parangkusumo coba buka tautan seperti persma.org, hukumpedia.com, lpmhimmauii.org, dan yang serupa. Disitu terdapat berita yang lebih jelas berkaitan dengan Parangkusumo daripada dari artikel ini.

Ya sudah saya cerita sedikit aja. Pas saya ke Parangkusumo beberapa waktu lalu, ke tenda nya itu yang buat pengungsian sementara oleh warga nya, miris juga sih melihat terpal dan banner yang disusun sedemikian rupa agar bisa ditempati sebagai tempat bernaung dan bermain anak-anak disana. Tau sendiri kan terpal itu sifatnya menyerap panas, jadi kalo pas panas ya bukannya terlindungi malah jadi makin kepanasan. Kemudian saya membayangkan, terus kalo pas hujan lebat terpal beginian nggak akan bisa melindungi dari air hujan. Terus gimana?

Kemudian acara berlanjut hingga makan siang terus diskusi. Seorang bapak-bapak setengah baya bercerita terkait penggusuran. Awalnya jelas mereka tidak mau digusur. Tapi kemudian suatu ketika mereka dikumpulkan oleh pemerintah setempat, ditawarkan akan direlokasi, makanya akhirnya mereka setuju sekalipun dengan berat hati. Tapi toh nyatanya sampai sekarang belum ada relokasi, mereka masih tidur di tenda. Kalau tidak salah kurang lebih begitu ceritanya. Saya manggut-manggut.

Saya bukan ahlinya dalam mengkritisi apakah suatu Undang-undang layak atau tidak untuk diterapkan dalam masyarakat, sekalipun saya belajar di bidang itu. Ya namanya juga masih belajar, jadi memang masih belum pintar.

Tapi saya teringat sewaktu dosen saya membahas hal serupa di kelas. Ada seorang mahasiswa menanyakan regulasi pertanahan di Yogyakarta yang Perdais nya berpangkal pada UU Keistimewaan dan sedikit berbeda dari Undang-undang Pertanahan sendiri. Dalam dunia hukum sendiri dikenal asas lex specialis derogate legi generalis yang artinya peraturan yang lebih spesifik mengesampingkan peraturan yang lebih umum.

Maksudnya apa? Maksudnya ya tidak salah ketika kemudian ada Perdais Sultan Ground/ Pakualaman Ground yang pangkalnya kepada Undang-undang Keistimewaan yang lebih spesifik terkait suatu daerah tertentu, dan bukan Undang-undang Pokok Agraria.  Kalau kemudian mau mendebat lebih lanjut mari adakan diskusi saja. Tapi ingat, disini saya bukan mengkritisi muatan Perdais nya ya, lha wong saya aja belum baca, kan saya cuma mahasiswa abal-abal.hehehe. Ini dari sisi keberadaan si Perdais tadi yang Insya Allah konon katanya sih sah. Kalau ternyata bertentangan ya ayok, mari kita kaji terus ajukan peninjauan kembali ya.

Kemudian karena di semester saya ini lagi belajar juga Hukum Sarana Pemerintahan, jadi masih ingat pas dosen saya ngomongin Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Kata dosen saya sih, sejauh ini di Indonesia jarang sekali yang namanya orang melepaskan tanah nya dengan cara dipaksa, yang maksudnya ganti kerugiannya itu ditentukan pemerintah terus orangnya disuruh pergi begitu lho. Biasanya pake tanda tangan deal-deal an harga kok walaupun tau sendiri Pemerintah juga nggak bisa kasih banyal-banyak.

Sepertinya sih, kasus Parangkusumo ini juga serupa, kan pengadaan tanah nya untuk kepentingan umum tho, bukan untuk kepentingan investor asing dan pejabat-pejabat yang kena cipratan duitnya di luar sana.hahaha

Terlepas dari berbicara baik-buruk, karena seperti filosofi yin dan yang dimana ada kebaikan, didalamnya ada kejelekan, dan sebaliknya jadi nggak usah repot-repot nanyain keberpihakan saya kemana, maka yang saya pengen perhatikan disini adalah untuk setiap orang memperhatikan anak-anak kecil yang disana supaya tetap bisa sekolah dengan baik, hidup nyaman dan nggak kesulitan walaupun yang gede-gede lagi bermasalah. Begitu saja.

Kalau begitu saya sebenarnya mau menulis apa? Ya nggak menulis apa-apa. Wong ngerti juga enggak. Kan sudah disampaikan di awal tadi!

 

Farah Asmajasmine Intishardewi
Yogyakarta, 05 Januari 2016

Memecah Dikotomi Keilmuan

Memecah Dikotomi Keilmuan

Manusia memiliki banyak kebutuhan. Dalam pemenuhannya, manusia memerlukan apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Dalam pembahasan pengetahuan, seringkali kita dihadapkan dengan pengelompokan ilmu tertentu yang berbuah menjadi kasta-kasta dalam kedudukan ilmu-ilmu tersebut. Padahal sejatinya, ilmu-ilmu tersebut berasal dari muara yang sama bernama filsafat.

Pengelompokan ilmu yang berujung menjadi dikotomi tersebut memunculkan problema baru. Dikotomi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang bertentangan. Yang paling mencolok dalam pendikotomian ilmu ini berkaitan dengan ilmu eksak dan ilmu sosial.

Dikotomi terjadi akibat perbedaan kerangka acuan bahasan, objek yang diamati, metodelogi, dan epistimologi. Antara ilmu-ilmu yang terkait tersebut seolah-olah perlu ada yang dianggap lebih sulit atau lebih tinggi tingkatannya.

Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia (Yuyun S, 1981:7 ).

Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007:49 ).

Masing-masing ilmu tersebut sebetulnya saling berkaitan dan menopang satu dengan yang lainnya, subjektivitas terkait ilmu mana yang statusnya lebih tinggi merupakan kontruksi dari pandangan sempit orang-orang yang tidak memahami fungsi dari masing-masing kajian ilmu.

Sekalipun dari kedua ilmu tersebut banyak perbedaan dari segi objek yang diamati dan bahasan. Apabila kita kupas berdasarkan filsafat, kedua ilmu tersebut tercipta dari filsafat dan pembentukan ilmu tersebut untuk mempermudah menyelesaikan suatu permasalahan. Akan tetapi pembodohan dari  dikotomi yang tidak perlu rasa-rasanya justru hanya menghambat perkembangan berpikir.

Apabila hendak dikaji lebih jauh, ilmu sains atau eksakta memang memiliki beberapa keunggulan tertentu yang bisa langsung dilihat produk serta fungsi keilmuannya. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang kemudian menganggap bahwa ilmu sosial tidak sama pentingnya dengan ilmu eksakta karena tidak dapat langsung dilihat buah manfaat keilmuannya dan tidak jelas manfaat praktisnya.

Produk-pruduk atau karya-karya ilmu eksakta fungsinya juga sangat konkrit dan langsung bisa keliatan manfaatnya bagi masyarakat. Teknologi jelas untuk mempermudah berbagai kinerja manusia, kedokteran jelas untuk membantu kesehatan, hasil pertanian yang baik sangat jelas fungsinya untuk penyediaan makanan guna keberlangsungan hidup manusia. Lantas produk dari ilmu filsafat, sastra, sosiologi, terkesan kurang begitu konkrit dan lebih cenderung masih absurd.

Bila ingin dirunut dari sejarah peradaban manusia, sifat menyukai hal-hal praktis ini bermula sejak revolusi industri. Mulai waktu itulah pola pikir bahwa setiap bidang ilmu harus memiliki kegunaan praktis untuk kebutuhan industri.

Peter McLaren, seorang professor asal negeri Paman Sam, Amerika Serikat, sebenarnya telah mewanti-wanti bahaya pengaruh kapitalisme dalam pendidikan. Menurutnya, persilangan antara kultur positivis dengan kapitalisme akan mematikan aspek kritis-subkjektif dalam pendidikan.

Ketika ilmu sosial-humaniora ditekan, sebagai hasilnya, ilmu yang diberikan hanyalah ilmu yang digunakan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan industri dan bukan ilmu yang mengembangkan fenomena hidup secara kritis.

Sebagaimana dikutip oleh Agus Nuryanto dalam bukunya Mazhab Pendidikan Kritis, dikemukakan oleh McLaren bahwa terdapat tiga dampak yang dapat muncul dari kapitalisasi pendidikan yakni : (1)adanya praktik sekolah yang mendukung control ekonomi oleh kelas-kelas elit; (2) berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan mendapatkan profit material, dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik; (3) terciptanya fondasi bagi ilmu pengetahuan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai-nilai sosial dan martabat manusia.

Meminjam perspektif teori labelling,dijelaskan bahwa sebuah perilaku dan identitas diri individu ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur masyarakat dimana individu tersebut berada. Penyimpangan perilaku individu belum tentu inheren melainkan merupakan label yang diberikan secara sosial oleh masyarakat.

Pengeksklusifan suatu ilmu tertentu, apabila dilihat dari sudut pandang teori labelling tersebut sebenarnya merupakan label yang diberikan oleh masyarakat sosial yang kemudian menjadi pola bahwa ilmu tertentu lebih baik daripada ilmu yang lain. Lebih buruk lagi, pola ini terus berkembang selama puluhan tahun.

Bahwasannya pengetahuan adalah terkelompok, perlu dibedakan, serta yang bersifat praktisi akan lebih menguntungkan dan lebih diperlukan telah menjadi suatu kontruksi sosial dan paradigma yang bukan hanya menyebar luas namun juga dapat dikatakan sudah menjadi kepercayaan masyarakat.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak orang-orang yang dulunya bergelut di bidang Ilmu Humaniora sekalipun mulai terkena dampak mental industri sehingga melupakan semangat emansipatoris untuk peradaban manusia dan justru ingin memenuhi kebutuhan pasar secara industrial semata.

Katakanlah manfaat ilmu sosial tak kelihatan secara konkrit seperti ilmu eksak. Namun, bukan berarti menandakan bahwa ilmu sosial tak ada manfaatnya. Memang bentuk produknya absurd, seperti sistem sosial, sistem politik, undang-undang, sistem kenegaraan. Tapi ilmu tersebut menciptakan system dan tanpa adanya sistem, kehidupan manusia akan menjadi kacau dan tak terkontrol.

Keberadaan ilmu sains yang menghasilkan produk-produk yang nyata sangat amat membantu dan mempermudah kehidupan. Namun keberadaan ilmu sosial juga tak dapat dilupakan mengingat ia lah yang meciptakan tatanan dan mendesain jalannya roda kehidupan itu sendiri.

Matinya ilmu sosial humaniora sama dengan matinya tatanan masyarakat. Runtuhnya perkembangan ilmu tersebut merupakan runtuhnya peradaban manusia. Tugas yang hari ini perlu diemban adalah untuk menyadarkan pentingnya kolaborasi dan saling sokong antara kedua kajian ilmu. Bukan melanjutkan kontruksi sosial yang ada bahwasanya salah satu kajian ilmu tertentu lebih baik, bukan pula menyatakan ilmu tertentu lebih tinggi kedudukannya.

Masing-masing ilmu mempunyai tingkat kesulitan sendiri, masing-masing ilmu bermanfaat dalam bidangnya dan perpaduan antara keduanya tanpa menjadikan salah satu dianggap lebih menonjol dapat menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir yang berkemajuan dan menciptakan pembaharuan.

Kesulitan tidak bisa sekedar hanya dilihat dari seberapa cepat manfaat dari ilmu tersebut didapat melainkan lebih dari itu, terkait bahwasanya kajian ilmu tersebut telah memunculkan kehidupan yang lebih baik.

Kemudian yang menjadi Pe-er adalah bagaimana untuk memecah dikotomi keilmuan yang semestinya berpadu tersebut. Jawabannya adalah memunculkan kesadaran bahwa masing-masing mempunyai porsi, kelebihan dan kegunaannya sendiri.

Pada hakikatnya, sifat ilmu itu integral, bukan parsial. Jadi seharusnya ilmu merupakan satu kesatuan. Pengelompokan supaya lebih mudah dalam mempelajari sah-sah saja, namun bila telah masuk kedalam tingkatan yang tidak perlu, sudah sebaiknya dihentikan.

Mengingat tujuan dari keberadaan ilmu adalah untuk kesejahteraan bersama manusia, anggapan lebih tinggi dan lebih baik dalam keilmuan justru akan merusak tujuan dari mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Dua-duanya berhubungan. Dua-duanya memunyai kontribusi yang besar dalam kehidupan dengan caranya sendiri. Dua-duanya membutuhkan intelektualitas yang tinggi untuk mempelajari dan menguasainya dengan baik.

Oleh karena itu, daripada sibuk mengeksklusifkan salah satu kajian ilmu, akan lebih bermanfaat untuk memepelajari keduanya dan menjadikan kedua bidang bukan seolah-olah hal yang berbeda namun saling berkesinambungan.

 

Nb : Tulisan yang seharusnya disetorkan saat hendak mengikuti Madrasah Intelektual Muhammadiyah tahun 2016. Banyak sumber yang terlupa dicantumkan jadi mohon maaf apabila ada sumber yang tidak tertulis.

Farah Asmajasmine Intishardewi
Yogyakarta, 05 Januari 2017.