Bulan: Agustus 2021

Refleksi dalam Berorganisasi

Refleksi dalam Berorganisasi

Oleh : La Ode Umar Alzamani

Manusia sebagai mahluk social tentunya membutuhkan wadah dalam menyalurkan hasrat manusiawi nya dalam berkomunikasi serta berinteraksi. Pemenuhan hasrat tersebut tentunya dapat diperoleh dalam sebuah organisasi. Organisasi merupakan sebuah wadah bagi sekumpulan individu yang memiliki kesamaan tujuan serta kemampuan sesuai dengan kompetensi masing-masing anggotanya dengan berorganisasi tentunya setiap individu dapat belajar serta mengembangkan potensi dari dalam diri baik itu bersifat akademik maupun non akademik.

Saat kita sudah terjun dalam sebuah organisasi semestinya kita akan lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibanding kepentingan pribadi, hal tersebut sudah sepantasnya dilakukan oleh masing-masing individu dalam sebuah organisasi. Namun yang menjadi permasalahan adalah masih banyaknya anggota yang belum paham serta tidak memiliki rasa kepemilikan atas sebuah organisasi sehingga tidak jarang banyak anggota dari suatu organisasi yang masih acuh tak acuh, hal tersebut disebabkan kurangnya nilai kekeluargaan terhadap organisasinya tersebut. anggapan bahwa organisasi merupakan rumah kedua setelah keluarga ter patahkan dengan kurangnya rasa kekeluargaan serta minimnya pendekatan kultural pimpinan terhadap anggotanya maupun sebaliknya antara anggota dan pimpinannya.

Saya memandang pendekatan kultural serta kekeluargaan merupakan tombak utama berhasil atau tidaknya sebuah organisasi. Rasa memiliki yang harusnya terbangun tentunya menjadi spirit serta point utama keberlangsungan suatu organisasi. Permasalahan acuh tak atuh para anggota organisasi harus mendapat perhatian mengingat anggota merupakan penggerak utama dalam mencapai tujuan suatu organisasi.

Lalu hal apa yang harus dilakukan baik anggota atau pimpinan yang secara structural bertanggung jawab atas permasalahan acuh tak acuh tersebut? perlu adanya rasa “kebersamaan”, kata yang familiar namun terkadang gagal diimplementasikan dalam sebuah organisasi. Terkadang anggota kelompok belum sadar atau bahkan secara sadar melalaikan arti dan makna dari kebersamaan. Mengapa rasa kebersamaan menjadi penting dalam sebuah organisasi? Rasa kebersamaan memiliki arti sebuah ikatan yang lahir dari rasa kekeluargaan/persaudaraan serta mengikat secara emosional. Kebersamaan memiliki beberapa unsur yang harus diciptakan dan dijaga oleh setiap individu yang tergabung didalaminya.

Pertama, adanya rasa satu hati atau satu misi di dalam sebuah organisasi. Dalam organisasi tentunya terdapat banyak orang yang memiliki pendapat berbeda. Satu kepala satu ide, seribu kepala seribu ide. Namun jika ingin membuat sebuah organisasi yang ideal, maka sudah seharusnya kepentingan bersama menjadi barang yang tidak boleh ditawar siapapun dan apapun posisinya dalam sebuah organisasi. Menggalang persamaan seta meninggalkan perbedaan adalah salah satu langka kongkrit dalam upaya memajukan sebuah organisasi.

Kedua, tidak egois. Sudah tidak bias dipungkiri lagi manusia memiliki sifat egois dalam dirinya. Segala sesuatu yang di anggap tidak memiliki manfaat ataupun nilai tambah buat dirinya, kebanyakan tidak akan melahirkan sebuah partisipasi. Jika sifat ini ada dalam sebuah organisasi tersebut bias dipastikan organisasi hanya berkutat pada sebuah program tanpa adanya bentuk pengimplementasian. Tidak ada yang mempelopori, karena semua menganggap apa yang mereka lakukan tidak ada imbal baliknya. Jika ingin memiliki organisasi yang solid, maka kita mulai untuk belajar menurunkan ego demi kepentingan bersama.

Ketiga, kerendahan hati. Organisasi akan memiliki anggota yang berbeda-beda baik sifat maupun kebiasaannya. Terkadang ada sebagian anggota yang terlibat tidak memiliki keahlian dan pengalaman khusus, modal mereka hanya sekedar kerelaan demi memberikan sumbangsih. Maka selayaknya anggota yang memiliki usia lebih tua, pengalaman lebih matang, keahlian lebih tinggi, kondisi finansial lebih beruntung, untuk menekan rasa sombong dalam diri dan rela bekerja sama (sambil menuntun) dengan anggota lainnya. Kerendahan hati akan menghindarkan kita dari rasa benci, iri hati dan timbulnya kelompok yang terkotak-kotak.

Keempat, yaitu kerelaan berkorban. Setiap individu dalam sebuah organisasi, akan memiliki sumbangsih yang bisa berbeda-beda. Ada yang menyumbangkan dana, pikiran, fasilitas, tenaga atau waktu. Dan masih banyak lagi bentuk sumbangsih seorang individu terhadap organisasinya. Perbedaan sumbangsih jangan sampai membuat gesekan negative yang bisa berdampak pada perpecahan.  Jika ingin bekerja bersama-sama, maka siapkan kerelaan untuk mau berkorban. Jika setiap individu dalam sebuah organisasi memahami dan terus belajar untuk memenuhi 4 unsur diatas, maka lambat laun organisasi yang dikembangkan akan menjadi semakin kuat dan solid di kemudian hari. Kesadaran diri, kedewasaan dalam berorganisasi menjadi point penting kemajuan suatu organisasi.

Refleksi Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia Pasca Reformasi

Refleksi Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia Pasca Reformasi

Oleh : Muhammad Mumtaz Putu Arga 

Negara ini telah bereformasi hampir 23 tahun yang lalu, pun sama halnya kepemimpinan negara ini juga silih berganti tiap 5 tahun sekali. Tentunya banyak sekali perubahan dalam berbagai aspek kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Lalu ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagi saya, apa kabar penanganan pelanggran-pelanggaran HAM setelah reformasi? Apa ada progress yang memberikan titik terang? Apakah ada kemajuan yang memberikan secercah harapan bagi keluarga korban? Apa ada jawaban atas aksi kamisan yang terus diulang? Atau memang tidak ada kemajuan dalam penanganannya?

Semenjak reformasi Mei 98 pemerintah Indonesia sangat concern terhadap hak asasi manusia, hal itu dikarenakan banyak sekali pelanggaran HAM pada rezim sebelumnya yang menyebabkan terjadinya reformasi itu sendiri. Selain itu juga karena memang hampir sebagian besar aktor-aktor reformasi yang akhirnya menjadi pejabat pemerintahan pada saat itu ialah korban dan pembela HAM, sehingga terciptalah beberapa undang-undang HAM yang menyebabkan terbentuknya lembaga resmi negara maupun swasta yang melindungi, menaungi, dan memperjuangkan korban pelanggaran HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan lain sebagainya. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan realita di lapangan yang menyebabkan terjadinya kontradiksi yang besar di republik ini. Sebagai contoh, pada tahun tahun 1999 saat disahkannya beberapa undang-undang tentang HAM terjadi sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan saat menjelang pemilihan umum di Timor Timur (sekarang Timur Leste).  Peristiwa ini perintah langsung dari Wiranto sebagai Panglima ABRI saat itu. Seusai peristiwa berdarah ini, Indonesia memiliki pengadilan HAM yang didirikan lewat UU 26/2000. Akan tetapi, pengadilan HAM bukan menghukum, justru membebaskan para pelakunya

 Kontradiksi lain ialah konflik berdarah berbasis etnis dan agama, yang terjadi bersamaan dengan transisi politik. Konflik ini diantaranya terjadi di Maluku, Poso, Sampit, dan Sambas. Peristiwa-peristiwa ini terjadi antara 1999 hingga 2002-2003. Selain itu juga pada bulan Oktober 2004 terjadi sebuah pembunuhan terhadap Munir Said Talib, seorang aktivis yang sangat gigih dalam memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM. Ironisnya pembunuhan Munir ini terjadi bersamaan dengan disahkannya UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan mirisnya lagi undang-undang ini mensyaratkan semisal korban pelanggaran HAM ingin dipulihkan haknya maka mengaruskan untuk memaafkan para pelaku kejahatan tersebut. Memang hal tersebut sebuah ironi yang jelas, tapi pada akhirnya undang-undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2007. Lalu bagaimana dengan sekarang ini?

Setelah 20 tahun lebih reformasi, kita masih bisa menyaksikan banyaknya pelanggaran hak asasi kemanusiaan di tv, majalah, dan gawai kita sendiri. Terlebih pada sektor agraria, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM yang diterima oleh para petani dan pekebun dikarenakan mempertahakan ladangnya dari jeratan banyak perusahaan yang diwakilkan pada preman-preman

 ada akhirnya bisa ditarik kesimpulan bahwa meskipun reformasi sudah terlaksana dua dasawarsa lebih tidak bisa menjadi jaminan bahwa hak-hak asasi dari setiap warga negara itu terjamin aman dan pelanggarannya bisa ditangani dengan baik, karena tidak jarang penanganan kasus ini “mandeg” di komnas HAM, kejaksaan dan pihak lain yang berwenang. Selanjutnya, memang betul pada awal reformasi terbukti efektif memukul para penjahat HAM. Akan tetapi, pada tahap sepuluh tahun kedua mereka telah kembali berani beraksi dan bisa jadi semakin kuat karena kebijakan dan peraturan tentang sanksi penjahat HAM tidak ada pembaharuan yang berarti yang dapat menghilangkan kejahatan ini. 

Memang betul negara kita ini telah 76 tahun merdeka dan 20 tahun telah melakukan reformasi besar-besaran, namun bangsa ini masih tertatih dan lemah dalam keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Akan sia-sia rasanya perjuangan keras dalam meniadakan dan mengurangi pelanggaran HAM semisal memang jika masih ada para pejabat negeri dan pemegang stake holder yang menjadi oknum-oknum penjahat HAM, sangat sulit terciptanya integrase nasional semisal hal buruk itu masih terjadi.

Krisis HAM di Tengah Tengah Pandemi COVID-19

Krisis HAM di Tengah Tengah Pandemi COVID-19

Oleh : Firdaunisa Trisnawati

Seperti yang kita ketahui bersama Indonesia bahkan dunia sedang dilanda pandemi besar yaitu COVID-19. Coronavirus Disiase 2019 atau sering di sebut COVID-19 adalah virus jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa muncul di Wuhan Cina, pada Desember 2019. Kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Corona virus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 COVID-19 (Susanto and Asmara, 2020). Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO resmi mengumumkan wabah COVID-19 sebagai pandemi global. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, COVID-19 telah menyebar di 123 negara, dari Asia, Eropa, AS, hingga Afrika Selatan. Pandemi COVID-19 tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan global, tapi juga bidang lainnya yaitu krisis HAM.

Berbicara mengenai dampak COVID-19 terhadap hak asasi manusia, ternyata pandemi COVID-19 ini berpengaruh terhadap penegakkan, jaminan, dan pemenuhan HAM. Permasalahan HAM hubungannya dengan pandemi COVID-19 terhadap pemenuhan kewajiban negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak asasi manusia, termasuk prinsip demokrasi dalam penanganan COVID-19. Sejumlah pelanggaran hak asasi manusia selama pandemi COVID-19 seharusnya tetap menjadi perhatian besar pemerintah, karena hak asasi manusia tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan-permasalan HAM tersebut antara lain :

Hak atas kesehatan
Berdasarkan penelitian (KontraS,2020) melakukan pemantauan melalui pembukaan kanal pengaduan publik terkait kualitas pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 melalui RS rujukan COVID-19. Ternyata RS rujukan COVID-19 memiliki sejumlah permasalahan seperti akses informasi yang minim, kekurangan tenaga medis, kekurangan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan. Padalah hal tersebut yang menjadi kewajiban pemerintah dalam melindungi kesehatan masyarakat apalagi di kondisi pandemi COVID-19 seperti ini. Prinsipnya perlindungan hak kesehatan publik harus menjangkau semua lapisan masyarakat dan terjangkau oleh masyarakat miskin sekalipun. Akses terhadap pelayanan kesehatan adalah bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia secara keseluruhan. Pelaksanaan hak ini haruslah memenuhi empat prinsip yakni 1) Ketersediaan; 2) Aksesibiitas, 3) Penerimaan, dan 4) Kualitas. Melanggar salah satu dari empat prinsip tersebut merupakan pelanggaran HAM karena pemerintah telah dianggap lalai dan/atau abai terhadap kewajibannya, berdasarkan General Comment Nomor 14 Tahun 2000 negara wajib memerhatikan ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas atas layanan kesehatan kepada masyarakat. Persiapan dan penanganan yang minim inilah yang dapat berdampak pada tidak terkontrolnya angka penyebaran, penularan, serta penanganan COVID-19 di masyarakat.


Hak atas informasi
Dalam konteks penanganan pandemi COVID-19, informasi yang valid, terpercaya dan terus diperbaharui mengenai situasi pandemi serta penanganannya wajib dipenuhi dan diberikan kepada publik tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian (KontraS,2020) ternyata dalam penyampaian informasi ini terdapat keterlibatan Badan Intelejen Negara melalui operasi senyap, penyampaian informasi yang tidak utuh, penyangkalan dan inskonsitensi pernyataan dan informasi para elit politik dan pejabat negara terhadap kerentanan dan penanganan kedaruratan COVID-19 di Indonesia. Kondisi inilah yang justru memperburuk krisis dan menimbulkan ketidakpastian, ketidakjelasan penanganan krisis. Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban menyampaikan informasi dari sejumlah peraturan seperti pasal 154 Jo. 155 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan menyebar dalam waktu singkat.


Hak atas pekerjaan
Pada awal di diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kebijakan jarak sosial (social-distancing) dan bekerja dari rumah (work from home). Dampaknya sangat besar sekali untuk para pedagang kecil, dan menengah (UMKM), hingga pekerja harian lepas maupun pekerja berpenghasilan rendah lainnya yang rentan menghadapi risiko pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Dampak tersebut berpengaruh terhadap bertambahnya angka pengangguran di Indonesia. BPS pun mencatat, jumlah pengangguran periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang dibanding Agustus 2019 lalu (Kompas, 2020). Dengan demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Semua pekerja yang terdampak COVID-19 haknya harus tetap terpenuhi, karena semua pekerja memiliki hak atas jaminan sosial yang diatur dalam Pasal 9 Kovenan. Pekerja yang mengalami pengurangan pemasukan yang disebabkan penyakit memiliki hak untuk mengakses manfaat-manfaat, baik tunai dan lainnya (Paragraf 2 Komentar Umum No. 19 tahun 2007 Hak atas Jaminan Sosial). Pemerintah wajib memastikan perlindungan yang layak atau bantuan sosial, maupun manfaat berbentuk tunai maupun lainnya kepada para pekerja yang mengalami pemotongan upah karena sakit atau adanya keadaan darurat kesehatan (Paragraf 14 dan 16 Komentar Umum).

Hak atas kebebasan berekspresi
Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pada saat penanganan COVID-19 setelah keluarnya Surat Telegram Kapolri (ST/1100/IV/HUK.7.1.2020) yang dibuat dalam rangka penanganan perkara dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 dalam pelaksanaan tugas fungsi reskrim terkait perkembangan situasi serta opini di ruang siber dan pelaksanaan hukum tindak pidana siber, tercatat ada 41 kasus penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat negara atau menyebarkan berita bohong (KontraS, 2020). Hal tersebut menjadi pelanggaran HAM jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan menyampaikan keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 ini. Padahal kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan aspek krusial yang aplikasinya harus dilindungi oleh Negara. Hal ini selaras dengan pasal 19 Kovenan Hak Sipol sebagaimana telah diadopsi substansinya dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan turunannya dalam 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak untuk bebas dari diskriminasi dan stigmatisasi
Pandemi COVID-19 menghasilkan gelombang stigma dan diskriminasi pada kelompok tertentu, salah satunya tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan kelompok yang paling memprihatinkan. Tekanan yang mereka peroleh sebagai garda terdepan untuk dapat menyembuhkan pasien COVID-19 sangatlah berisiko untuk dapat tertular. Ironisnya, tidak hanya tekanan fisik yang harus mereka dapatkan, tetapi juga munculnya beragam stigma yang memengaruhi mental mereka. Salah satu contohnya, terdapat sejumlah perawat yang terintimidasi, yaitu diusir dari kontrakan karena khawatir dapat menularkan virus penyebab COVID-19. berdasarkan hasil survei Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia, sebanyak 140 perawat pernah merasa dipermalukan dan 135 perawat pernah diminta meninggalkan tempat tinggalnya karena berstatus perawatan Covid-19 atau bertugas di rumah sakit penanganan Covid-19 (Kompas, 2020). Stigmatisasi tersebut lahir akibat penyebaran informasi yang dilakukan pemerintah tidak akurat dan tingkat literasi masyarakat yang cukup buruk, sehingga tidak dapat menyaring informasi yang tersebar dengan baik yang mengakibatkan publik menerima informasi tidak utuh dan mengambil sikap sendiri yang keliru. Hal tersebut tentunya sangat memperihatinkan padahal stigma negatif tersebut tidak memberikan manfaat bagi penanggulangan wabah Covid-19.

ari sekian banyaknya permasalahan HAM di tengah pandemi COVID-19 yang terpenting, penanganan kondisi darurat apapun penyebabnya dan bagaimanapun dampak yang dihasilkan tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Di tengah pandemi COVID-19, kerjasama, solidaritas dan kemanusiaan hendaknya dijadikan semangat bersama baik pemerintah maupun masyarakat.