Bulan: Februari 2020

Notulensi Diskusi Pojok Hukum (Omnibuslaw: Masa Depan Ekologi dan Buruh)

Notulensi Diskusi Pojok Hukum (Omnibuslaw: Masa Depan Ekologi dan Buruh)

Oleh: Yamanan | Pemateri: Berlian Gemma Putra |

Masa depan buruh dan ekologi saat ini sangat terancam mengingat wacana yang dilakukan oleh pemerintah untuk membuat undang-undang sejagat atau payung hukum dari segala hukum atau sekarang di sebut omnibuslaw.
Omnibuslaw adalah sistem hukum yang menggabungkan beberapa undang-undang atau yang mencakup lebih dari satu aspek yang di gabungkan menjadi satu undang-undang. Lalu, apa yang menjadi masalah terutama buruh dan ekologi?
Jika proyek besar omnibuslaw yang sedang di kerjakan oleh pemerintah terutama omnibuslaw cipta lapangan kerja (cilaka) yang sekarang namanya di ubah menjadi cipta kerja padahal substansinya sama kemudian disahkan menjadi undang-undang akan menjadikan masa depan buruh dan ekologi suram bahkan tidak mempunyai masa depan. Hal ini tidaklah tanpa alasan, mengingat banyak sekali masalah yang terdapat di dalam penyusunan omnibuslaw cilaka ini. Apa yang menjadi permasalahan dalam pembentukan omnibuslaw cilaka ini yang di bahas dalam diskusi pojok hukum pada hari jum’at tanggal 21 Februari 2020 dengan tema “Omnibuslaw: Masa depan ekologi dan buruh”.
Diskusi pojok hukum dengan tema ini di pantik oleh Bung Muslich Bahaomed dari Front Nahdiyyin untuk kedaulatan sumber daya agrarian (FNKSDA). Diskusi ini di buka dan di pandu oleh kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang bernama Andika.
Omnibuslaw memang menjadi tema yang menarik untuk di angkat dan didiskusikan mengingat pentingnya membangunkan kesadaran mahasiswa untuk dapat melihat dan membaca permaalahan yang sedang terjadi di Indonesia apalagi permasalahan omnibuslaw ini adalah permasalahan yang meluas dan berdampak jangka panjang jika omnibuslaw cilaka ini di sahkan menjadi undang-undang dan mengikat semua warga negara Indonesia, karena yang berdampak bukan hanya masyarakat yang sekarang menjadi buruh saja tapi juga mungkin kita yang nanti akan menjadi buruh.
Sebelum di sebutkan apa yang menjadi point-point pembahasan, agar berbeda dengan yang lain maka pada tulisan kali ini akan di sampaikan kesimpulan sebelum pembahasan. Kesimpulan nya adalah TOLAK OMNIBUSLAW.
Saat ini draft dan naskah akademik dari Omnibuslaw cilaka masih simpang siur, namun hal ini dapat di pastikan bahwa draft dan naskah akademik yang beredar saat ini adalah valid jika melihat pernyataan-pernyataan yang di sampaikan oleh menteri-menteri dari kabinet jokowi.
Penolakan terhadap omnibuslaw terutama omnibuslaw cilaka bukan tanpa alasan tapi sangat beralasan karena omnibuslaw cilaka mengancam keberlangsungan ekologi dan buruh, mengapa demikian? Omnibuslaw ini adalah produk hukum yang sengaja di susun untuk menarik investari dari investor luar negeri yang menurut pemerintah dengan memangkas kebijakan akan menarik investor untuk masuk ke Indonesia karena pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah menyentuh 6% membuat pemerintah gerah sehingga menghalalkan berbagai cara untuk menarik investasi dari luar ke dalam negeri salah satunya adalah dengan membuat proyek hukum omnibuslaw ini.
Dalam omnibuslaw cilaka nasib buruh dan ekologi di pertaruhkan dimana buruh akan kehilangan banyak hak nya, seperti pesangon karena pesangon hanya dapat di berikan kepada buruh yang sudah bekerja selama minimal 1 tahun. Secara normatif hal ini memang tidak ada masalah mengingat buruh masih dapat mendapatkan pesangon tapi secara praktiknya nanti hal ini tidak seperti yang kita bayangkan karena setiap perusahaan dapat merekrut dan mengkontrak para pekerja sesuai dengan kehendak perusahaan, karena perusahaan di bebaskan akan hal ini akan berdampak pada tidak ada pekerja yang akan di menjadi pegawai tetap atau bahasa hukum nya adalah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) akan menjadi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sehingga sangat sulit untuk menjadi pekerja tetap atau setidaknya mencapai waktu kerja 1 tahun. Jadi bisa di bayangkan apa yang akan terjadi, dan ini hanya satu permasalahan yang akan di alami oleh buruh.
Selajutnya adalah dihapuskannya upah minimum kabupaten/kota (UMK) menjadi upah minimum provinsi yang senyatanya adalah upah minimum provinsi jauh lebih kecil dari pada upah minimum kabupaten/kota karena memang upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi padahal secara normative tidak boleh upah pekerja itu berjalan menurun atau mengecil tapi jika upah minimum kabupaten/kota di hapuskan selain dihapuskannya upah minimum kota sistem pengupahan baru yang di atur dalam omnibuslaw ciaka ini adalah dengan sistem pengupahan perjam kerja bukan dengan sistem bulanan seperti yang terjadi saat ini, apa dampaknya? Ketika di gaji selama 1 bulan kerja dan kita mengambil hak cuti, maka gaji kita akan tetap 1 bulan gaji tapi berbeda dengan sistem gaji perjam kerja, semakin sedikit kita bekerja maka akan semakin dikit pula gaji atau upah yang akan kita terima. Dan masih ada banyak lagi masalah yang akan menimpa buruh jika omnibuslaw cilaka ini di sahkan menjadi undang-undang, alasan yang lain bisa para pembaca kaji lebih dalam agar tidak melulu mengkonsumsi kajian orang lain atau organisasi lain seperti yang disampaikan bung muchlis ketika diskusi.
Masalah ekologi adalah masalah yang menarik untuk di bahas juga dalam omnibuslaw cilaka karena masalah ekologi ini adalah masalah yang cukup serius karena seperti yang di jelaskan di awal bahwa tujuan omnibuslaw ini adalah untuk menarik investasi tapi karakter dari investor yang bersifat atau berpaham kapitalime tidak pernah mementingkan alam yang berkelanjutan tapi sifat dan karakter kapitalisme adalah mengeksploitasi dengan modal sekecil mungkin tapi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini dapat di lihat dari wacana dihapuskanya ijin AMDAL dan IMB oleh pemerintah melalui omnibuslaw. Amdal adalah salah satu parameter atau indikator atas dampak yang di timbulkan dari suatu hal yang berkaitan dengan sumber daya alam, bayangkan saja ketika aturan itu ada pun banyak sekali pelanggaran yang di timbulkan yang berdampak pada rusaknya alam karena eksploitasi atas sumber daya alam tersebut apalagi peraturan amdal itu di hilangkan, tidak terbayangkan apa yang akan terjadi kemudian atas masa depan alam dan keberlangsungan ekologi apalagi di dukung dengan penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang merusak alam dengan hanya di berikan sanksi administrasi saja. Dan yang menjadi pertanyaan, apakah kita masih akan terus diam?

NOTULENSI KEGIATAN DISKON (DISKUSI KONTRAKAN) SENI DAN PERLAWANAN

NOTULENSI KEGIATAN DISKON (DISKUSI KONTRAKAN) SENI DAN PERLAWANAN

Pemateri : Berliana gemma putra |

Oleh: muhammad agist dan mutia I.rohromana

SENI DAN PERLAWANAN

          Negara memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menggeluarkan kebijakan dalam rangka menjalakan kehidupan bernegara. Namun seperti adagium yang dikemukankan Lord acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korup, semakin besar kekuasaan semakin besar untuk korup (power tend  to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Untuk itu apabila terdapat kebijakan-kebijakan rezim yang dirasa menindas masyarakat maka  perlu ada suatu perlawanan kebijakan rezim tersebut. Hal yang menarik dalam diskusi kali ini bahwa seni dapat dijadikan sebuah media perlawanana. Namun sebelum mengkontekskan seni dengan perlawan  mari kita tengok sebentar mengenai seni itu sendiri.

Seni tidak bisa didefinisikan, karena pada dasarnya seni itu merupakan sesuatu yang abstrak, namun seni itu dapat diartikan menjadi beberapa hal seperti berikut; seni adalah sesuatu yang lahir dari pengalaman indrawi, sehingga karya seni itu merupakan bentuk penggambaran dan pengimplementasian dari pengalaman panca indra seseorang, seperti saat dia melihat keindahan suatu alam, dan kemudian menggambarkannya dalam bentuk lukisan atau bahkan media-media yang lainnya. Lalu bisa dikatakan juga bahwa seni itu merupakan alat dalam mencari kebenaran, sama seperti hal nya dengan ilmu pengetahuan, filsafat, bahkan agama. cara kerja seni sebagai alat pencari kebenaran yaitu dengan membuka pengalaman indrawi yang digambarkan lalu diterima masyarakat menjadi sebuah kebenaran. Nilai-nilai yang terdapat dalam seni secara normative adalah estetika. Namun seharusnya seni tidak berhenti sampai pada keindahan semata karena dibalik objek seni itu sendiri harus memiliki makna. Konsep ini telah menjadi landasan perjuangan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1945. Komunitas tersebut mendorong seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosial miliki suatu aliran yang menjadikan realitas masyarakat sebagai inspirasi untuk

membuat karya sehingga kesenian itu tidak boleh dijauhakan dari keadaan yang terjadi di masyarakat, dan tujuan dari dibuatnya seni itu untuk memberi kesadaran kepada kaum tertindas agar berjuang untuk melawan penindasan yang terjadi terhadap mereka.

Muncul pertanyaan mengapa sebuah perlawanan harus dengan seni? Karena seii d dasarnya seni itu memiliki sifat netral yang dianggap paling toleransi dalam segala bidang sehingga bisa masuk dan diterima dengan mudah oleh masyarakat.

            Namun seiring perkembangan zaman seni sering disalahartikan, banyak orang yang beranggapan bahwa seni itu hanya sebuah benda yang memiliki nilai keindahan belaka, hanya sajian hiburan untuk hati yang sedang merana, bahkan lebih parahnya para penikmat seni ini tidak ingin tahu bagaimana makna yang ingin disampaikan oleh si pembuat seni. Menurut pemateri keadaan ini disebabkan karena adanya dua faktor, yaitu;

  • Faktor yang pertama adalah karena si pembuat seni ini tidak berangkat dari kegelisahan-kegelisahan yang terjadi di sekitarnya sehingga berorientasi kepada keindahan semata, dan makna yang disajikan hanya memberikan rasa indah dan membuat kagum penikmatnya. Jikapun seniman itu berangkat dari realitas masyarakat seniman ini tidak lagi memfokuskan perjuangan apa yang hendak dituju sehingga gagal membungkus perlawanan dengan seni.
  • Faktor yang kedua adalah karena penikmat seni yang salah tangkap dalam mengartikan makna ganda dari sebuah seni, mereka tidak mengerti dan tidak berusaha untuk mencari arti sebuah makna yang ingin disampaikan oleh si pembuaty seni, seperti yang tadi dikatakan bahwa mereka hanya menganggap seni sebagai sajian hiburan semata.

Pertanyaan :

  • Bagaimana cara berkarya yang baik, terutama ketika ingin membuat karya sebagai media perlawanan?
  • Pentingkah sebuah eksistensi bagi seorang seniman, karena ketika membuat seni, pasti ada sebuah hak cipta atau tanda yang menyatakan bahwa karya seni itu kepunyaan saya, tujuan dibuat tandanya itu untuk apa?

Jawab :

  • Cara yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
  • Harus berani untuk memulai berkarya. Usahakan berkarya dengan memiliki nilai estetika, namun jangan terpaku pada estetikanya saja, karena yang paling penting itu adalah memperahatikan maknanya.
  • Tahu posisimu ketika berkarya, saat membuat karya kita harus mengetahui permasalahan apa yang akan kita bawa dalam karya kita, dan posisi kita memihak kepada siapa.
  • Jangan terlalu berkarya dengan yang berat-berat, mulai dari hal yang terkecil dulu, seperti membuat caption, atau bersuara di media sosial, maupun mebuat bait-bait puisi pendek
  • Hak cipta itu sebagai identifikasi seni, selain untuk mencegah plagiarisme, seni juga memiliki tangung jawab, beban moral dalam seni tidak boleh lepas dari seniman. sehingga ketika ada orang yang mengkritik karya tersebut ataupun kurang paham dengan maknanya, orang tersebut tidak akan salah arah dalam mengkritik dan mempertanyaknnya karena bisa langsung terarah kepada senimannya. Dan terkait dengan eksistensi nya itu merupakan bonus saja, dan bukan dijadikan sebagai tujuan utama dalam membuat suatu karya.

Notulensi Pertama : Muhammad Agist    

Notulensi Kedua : Ruby Nur Adilla

QNA Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 mengenai Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja

QNA Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 mengenai Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja

Ditulis Oleh: Dila Farhani

1. Mengapa Konvensi Kekerasan dan Pelecehan No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 penting?

Proses kelahiran kedua instrumen ini berawal pada tahun 2015, dan dengan adanya seruan tegas menentang kekerasan dan pelecehan, diadopsinya dua instrumen tersebut terjadi pada saat yang sangat tepat. Konvensi ini kuat dan praktis. Bersama-sama dengan Rekomendasi yang menyertai, Konvensi 190 memberikan kerangka aksi yang jelas serta peluang untuk membentuk masa depan dunia kerja berdasarkan martabat dan penghargaan, bebas dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan. Hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan belum pernah diartikulasikan dengan jelas dalam sebuah perjanjian.

Konvensi ini juga mengakui perilaku seperti itu dapat merupakan pelanggaran atau penyelewengan Hak Asasi Manusia. Instrumen-instrumen ini merupakan yang pertama pada abad kedua. Usia ILO juga menegaskan peran penting ILO dalam menentukan standar ketenagakerjaan. Kedua instrumen ini merupakan bukti terukur dari nilai dan kekuatan dialog sosial dan tripartisme, sementara dialog sosial dan tripartisme akan menjadi unsur penting dalam melaksanakan instrumen ini di tingkat nasional.

2. Apa saja tindakan-tindakan yang merupakan ‘kekerasan dan pelecehan’?

Definisi sangat beragam dan seringkali tidak terlalu jelas. Misalnya ‘pelecehan’ seksual seringkali dikelompokkan sebagai bentuk ‘kekerasan’ berbasis gender. Inilah mengapa Konferensi memilih mengambil pendekatan pragmatis, mendefinisikan kekerasan dan pelecehan sebagai “serangkaian perilaku dan praktik yang tidak dapat diterima” yang “bertujuan, mengakibatkan, atau mungkin menimbulkan cidera secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi”. Definisi ini mungkin juga mencakup penyiksaan secara fisik, lisan, perundungan dan pengeroyokan, pelecehan seksual, ancaman dan penguntitan di antaranya. Konvensi ini juga mempertimbangkan fakta bahwa saat ini kerja seringkali dilakukan tidak di tempat kerja fisik; sehingga konvensi ini juga mencakup komunikasi yang berhubungan dengan kerja, termasuk yang mungkin terjadi melalui TIK.

3. Siapa yang terlindungi oleh Konvensi?

Fokus Konvensi pada inklusivitas sangatlah penting. Artinya siapapun yang bekerja akan terlindungi tanpa memandang status kontrak kerja, termasuk pemagang, sukarelawan, pencari kerja dan orang-orang yang menjalankan wewenangnya sebagai pemberi kerja. Berlaku juga untuk sektor publik dan swasta, ekonomi formal dan informal serta wilayah perkotaan dan pedesaan. Beberapa kelompok, dan pekerja di beberapa sektor, jabatan dan pengaturan kerja mengalami kerentanan khusus terhadap kekerasan dan pelecehan; misalnya mereka yang bekerja di sektor kesehatan, transportasi, pendidikan dan rumah tangga, atau bekerja di malam hari atau di wilayah terpencil. Sektor-sektor spesifik di setiap negara akan ditentukan melalui konsultasi tripartit.

Kekerasan dan pelecehan berbasis gender menjadi fokus utama, dan pendekatan ini juga mempertimbangkan pihak ke tiga (misalnya klien, pelanggan, penyedia layanan dan pasien) karena merekapun dapat menjadi korban ataupun pelaku.

Yang terpenting, dampak kekerasan rumah tangga pada dunia kerja juga dipertimbangkan. Ini merupakan langkah signifikan dalam membawa kekerasan rumah tangga keluar dari kegelapan, dan mengubah perilaku. Rekomendasi ini juga mengatur tindakan-tindakan praktik termasuk cuti bagi korban, pengaturan kerja yang fleksibel, dan peningkatan pemahaman.

4. Apakah mungkin Konvensi ini mengubah perilaku?

Perubahan perilaku tidak pernah mudah namun penting bila kita ingin menghapuskan kekerasan dan pelecehan dari dunia kerja. Diadopsinya instrumen-instrumen yang kuat seperti ini akan mengirimkan pesan yang kuat. Akan membuat yang selama ini tak terlihat menjadi semakin terlihat, mengakui bagaimana kekerasan dan pelecehan sangat buruk dan tidak dapat diterima.

Kita perlu menangani penyebab yang mendasari semua ini, termasuk berbagai bentuk diskriminasi yang saling bersinggungan, stereotipe gender dan ketimbangan hubungan kuasa yang berbasis gender.

Penilaian risiko di tempat kerja, seperti yang diatur dalam Konvensi dan diatur lebih jauh dalam Rekomendasi, dapat juga membantu dalam mengubah perilaku, karena mempertimbangkan berbagai faktor yang meningkatkan kemungkinan kekerasan dan pelecehan (seperti gender, budaya dan normal sosial). Konvensi dan Rekomendasi juga meminta dilaksanakannya pelatihan dan tindakan-tindakan yang akan meningkatkan pemahaman.

5. Kapankah Konvensi ini mulai berlaku?

Sama halnya dengan sebagian besar Konvensi ILO, Konvensi № 190 akan berlaku 12 bulan setelah dua Negara Anggota meratifikasinya. Mengingat dukungan tingkat tinggi yang ditunjukkan saat Konvensi ini disahkan, kami sangat yakin Konvensi ini akan cepat berlaku.

Namun Konvensi ini akan membawa dampak bahkan sebelumnya. Semua negara anggota akan diminta untuk memerhatikan otoritas nasional mereka yang berwenang, dan hal ini akan memastikan isu ini akan mendapatkan perhatian di tingkat nasional maupun internasional.

https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_726739.pdf

Pelecehan dan kekerasan banyak melibatkan penyalahgunaan kekuasaan di mana obyek sasaran dapat mengalami kesulitan dalam mempertahankan dirinya. pelecehan dan kekerasan yang terjadi di tempat kerja juga tak sebatas antara atasan dan bawahan saja, namun seringkali diantara sesama pekerja.

Pelecehan di tempat kerja merupakan tindakan ofensif yang tidak diinginkan, berulang, atau tidak masuk akal, yang ditujukan pada seorang pekerja atau sekelompok pekerja yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam pelaksanaan pekerjaan atau menyebabkan seorang pekerja merasa bahwa ia bekerja di lingkungan kerja yang tidak ramah.

bentuk-bentuk pelecehan bisa berupa kata-kata, bahasa tubuh atau tindakan-tindakan yang cenderung untuk mengganggu, menimbulkan kewaspadaan, menyalahgunakan, mengolok-olok, mengintimidasi, mengecilkan, menghina atau mempermalukan orang lain atau hal-hal yang mengintimidasi, menimbulkan permusuhan, atau lingkungan kerja yang bersifat ofensif. Bentuk-bentuk tertentu dari pelecehan di tempat kerja lebih banyak dijumpai dibandingkan bentuk-bentuk lainnya. Pelecehan seksual dan intimidasi merupakan dua bentuk yang paling lazim dari pelecehan di tempat kerja.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika di KBN Cakung (2017) menujukkan bahwa 56,5% buruh garmen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk dan 93,6% dari korban tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme ditempat kerja. Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan angka 50% buruh perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena lingkungan kerja yang tidak ramah pada buruh hamil.

Sebuah penelitian terbaru membuktikan bahwa pelecehan atau kekerasan yang terjadi di tempat kerja berkembang sangat pesat. Sebuah penelitian membuktikan hampir 75% survei yang dilakukan terhadap karyawan, ternyata pernah mengalami kekerasan. Seperti yang dilansir dari Forbes.com, survey terhadap kekerasan dilakukan di Amerika Serikat dan menghimpun fakta sebanyak 60% pekerja pernah mengalaminya. Hal ini dialami baik oleh lelaki maupun perempuan.

Tindak kekerasan, pelecehan dan diskriminasi terjadi secara global, itulah mengapa dibutuhkan payung hukum internasional untuk dapat memberikan perlindungan secara menyuluruh untuk setiap pekerja.

Dilansir dari KSBSI.org sejak dua tahun lalu beberapa kelompok yang terfokus dalam isu gender melakukan upaya standard setting ILO sebagai bentuk pengawalan terhadap penetapan atas Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence), kelompok yang terdiri dari unsur serikat pekerja/buruh dan LSM bergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan, Diskriminasi dan Pelecehan di Dunia Kerja secara simultan terus mengawal proses pembahasan hingga akhirnya standard tersebut sah diadopsi pada Konferensi ILO ke 108 Juni 2019 lalu menjadi Konvensi ILO No. 190 bertajuk Penghapusan kekerasan dan Pelecehan Di Dunia Kerja. Konvensi ini menjadi produk yang cukup kuat karena dilengkapi dengan Rekomendasi yang menjadi acuan teknis implementasinya di tingkat negara, berikut Resolusi yang menjadi seruan meratifikasi bagi negara anggota ILO/PBB.

Di Indonesia sendiri sebenarnya terdapat pedoman khusus untuk perusahaan tentang pencegahan pelecehan ditempat kerja akan tetapi aturan tersebut dirasa belum efektif dalam mencegah diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan di tempat kerja. penyusunan draft dari Pedoman ini berdasarkan atas standar ketenagakerjaan nasional dan internasional disamping juga perundang-undangan yang relevan, termasuk di antaranya:

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia;
  2. Undang-Undang № 39 Tahun 1999 berkenaan dengan Hak-Hak Azasi Manusia;
  3. Undang-Undang № 13 Tahun 2004 berkenaan dengan Masalah Ketenagakerjaan;
  4. Undang-Undang № 2 Tahun 2004 berkenaan dengan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  6. Konvensi ILO № 100 Tahun 1951 tentang Kesetaraan dalam Pengupahan bagi Pria dan Wanita untuk Pekerjaan dengan Nilai Setara, yang diratifikasi melalui Undang-Undang № 80 Tahun 1957;
  7. Konvensi ILO № 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi Berkenaan dengan Pekerjaan dan Jabatan, yang diratifikasi melalui Undang-Undang № 21 Tahun 1999;
  8. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW), yang diratifikasi melalui Undang-Undang № 7 Tahun 1984;
  9. Surat Edaran No. SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Pedoman Kesetaraan dalam Kesempatan Kerja di Indonesia.

Hari ini Indonesia belum memiliki UU nasional yang secara khusus melindungi pekerja baik formal maupun informal (termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan) dari kekerasan, diskriminasi dan pelecehan di dunia kerja mulai dari proses rekruitmen, perjalanan dari dan ke tempat kerja, di tempat kerja, dan pemutusan hubungan kerja. Padahal masih banyak ditemukan pekerja terutama perempuan yang mengalami kekerasan dan pelecehan namun belum berani melaporkan peristiwa tersebut ke aparat hukum karena belum ada jaminan hukum yang pasti. Oleh karena itu, perlu adanya satu konvensi internasional yang mengatur perlindungan pekerja dari kekerasan dan pelecehan yang nantinya dapat menjadi acuan aturan hukum nasional.

tidak ada alasan untuk Indonesia sehingga tidak mendukung konvesi internasional ini karena, Indonesia telah terikat secara hukum dengan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan karena pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 1984. Perlindungan pekerja perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja menjadi salah satu perhatian dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1992. Mendukung diadopsinya Konvensi ILO tentang Mengakhiri Kekerasan dan Pelecehan Perempuan dan Laki-laki dalam Dunia Kerja merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah Indonesia di hadapan dunia internasional guna memperkuat implementasi Konvensi CEDAW.