Bulan: Maret 2017

Gender dan Ke-tidak Adilan

Gender dan Ke-tidak Adilan

Kata Gender sering di identikan dengan perempuan, hal ini di sebabkan karena para perempuan yang sering mengutak-atik, membahas, membicarakan kata gender,meskipun tidak sedikit pula laki-laki yang membahas mengenai gender, membahas mengenai gender berusaha untuk memperoleh hak persamaan hidup, dalam pengertinnya Gender adalah pensifatan dari jenis kelamin yang dikontruksikan secara kultural yang membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki maupun perempuan, sementara sex adalah suatu pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dimana perempuan punya rahim dan laki-laki tidak.

Munculnya perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan pada perempuan jika di kita telaah sebenarnya telah di mulai dari sejak perempuan lahir baik itu dari keluarga ataupun dari masyarakat, sebagai seorang perempuan membuat dia berbeda dari laki-laki mulai dari peran, posisi, fungsi, karena hal tersebut sudah di kontruksi mulai dari keluarga dan masyarakat maka perempuan hanya tau posisi, fungsi, dan perannya yang telah di terapkan pdanya sehingga tidak sedikit pula perempuan yang tidak tahu bahwa dia sebenarnya sedang tertindas atau ada suatu perbedaan gender yang tidak adil yang dialaminya.

perbedaan gender dengan struktur ketidakadilan yang berbeda pada jenis kelamin itu  semua telah tesosialisasi dan terlembagakan dalam kehidupan masyarakat melalui agama, negara dan sosial.terlebih lagi hal tersebut telah begitu membudaya mandarah daging menjadi sebuah mitos keadilan.

Fakta Ketidakadilan Gender

Ketidakadian gender yang di rasakan perempuan pastinya berbeda di setiap negara, daerah, bahkan individu, namun dari sekian fakta ketidakadilan geder dapat di digolongkan beberapa kerangka, yaitu :

  1. Marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan

Marginalisasi adalah membatasi peran, menggeserkan atau mengesampingkan atau mengabaikan hak-hak terhadap kelompok tertentu,

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang di lakukan satu jenis kelamin lebih renda dari yang lainnya.

Kedua hal tersebut terlihat dalam berbagai aspek kehidupan perempuan, baik ekonomi, sosial budaya, politik dan lain sebagainya, dalam aspek ekonomi, terdapat pembagian kerja yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki hal ini secara lansung mengakibatkan perbedaan upah yang di terima, dimana upah perempuan lebih rendah dari upah laki-laki, di tambah lagi dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga muncul anggapan bahwa upah perempuan tidak perlu tinggi karena perempuan bekerja hanya untuk mengisi waktu luang,

Seperti pada masa indistrialisasi dimana para petani telah berubah menjadi para buruh di pabrik-pabrik yang berjejer, para pemilik modal mengkampanyekan bahwa keluarga batih adalah keluarga yang bapaknya bekerja ibunya di rumah mengurus anak, untuk menghasilkan buruh buruh baru, para pemilik modal mengkampanyekan ketetapan gajih minimum bagi buruh laki-laki yang telah berkeluarga namun tidak menerapkan itu pada  buruh perempuan, sehingga buruh perempuan mendapatkan gajib yang begittu rendah.

Dalam hal pendidikan, masih tidak sedikit pula perempuan yang tidak dapat menempuh pendidikan yang tinggi, karena pemikiran mengenai perempuan adalah calon ibu rumah tangga yang tugas dan fungsinya hanya mengurus rumah tangga atau biasa kita dengar dengan istilah “Kasur, dapur, sumur” masih melekat pada masyarakat.

Maka selanjutnya terdapat suatu pertanyaan apakah urusan rumah tangga yang di anggap merupakan tanggung jawab perempuan mendapat penghargaan atau nilai juga perindungan yang sama dengan peran laki-laki di publik? Jika tidak maka selama itu pula ketidakadilan gender berlangsung.

Kenapa bisa muncul menyataan seperti itu, karena bukan berarti perempuan yang bekerja di publik tidak mengurus rumah tangga merupakan keadilan, dan bukan berarti juga seorang perempuan yang dengan sadar memilih bersikap untuk menjadi ibu rumah dengan bertangung jawab pada rumah dan anak-anaknya merupakan penindasan, namun segala hal haruslah dilihat terlebih dahulu alasan dan latarbelakangnya,

  1. Stereotipe

Stereotipe adalah pelabelan terhadap kelompok tertentu, dan pelabelan tertentu selalu hal yang negatif , pelabelan ini menunjuan ada relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bermaksud untuk menaklukan atau menguasi.

Perempuan di pandang lemah, emosional, cenderung labil, lemah lembut sulit untuk bisa melakukan pekerjaan laki-laki. pendidikan rendah juga mempengaruhi hal tersebut membuat para perempuan dengan minimnya pengetahuan menerima semua kodratnya dan akhinya bekerja pada pekerjaa yang justru menimbulkan stereotipe bagi diriya, perempuan di haruskan bekerja dengan penambilann cantik, menarik penuh make up, dengan penampilan menggunakan pakaian minim, sehingga hal tersebut bisa menggundang mereka pada pada kekerasan seksual.

  1. Kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan yang dimaksud disini bukanlah hanya sekedar pada kekerasan fisik seperti pemerkosaan, pemukulan dll, namun juga terdapat kekerasan yang dilakukan bukan pada fisik namun pada psikologis perempuan, kekerasan ini juga bisa dilakukan oleh individu atau di depan umum, dimana seperti pendapat perempuan dianggan buruk dan dicela di depan umum, sehingga martabat perempuan di rendahkan. Hanya karena perempuan itu menjadikan apapun argumen yang di lontarkan oleh perempuan tidak baik dikarenakan terdapat stereotipe yang terus di lekatkan pada perempuan.

  1. Double burden atau beban kerja ganda

Beban kerja ganda adalah perempuan dibebani 2 pekerjaan dalam hidupnya yaitu bekerja di publik sebagai peran gender dan juga dalam peran domestic suatu keharusan untuk menjadi perempuan sempurna dalam mengurus rumah anak dan melayani suami. Dan perempuan hanya di bebani 1 beban pekerjaan dan tidak bertanggung apapun saat pulang ke rumah, meskipun pekerjaan rumah bisa di lakukan bersama-sama anatara laki-laki dan perempuan namun pekerjaan itu di anggap rendah untuk di kerjakan oleh laki-laki. Padahal dalam masalah public pekerjaan memasak menjadi koki, menjadi guru, dll yang sebenarnya hal itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh ibu rumah tangga  tidak mendapatkan nilai dan perlindungan yang sama dengan pekerjaan rumah tangga.

Padalah penulis merasa bahwa pekerjaan rumah tangga begitulah hal yang luar biasa, bagaimana seorang tokoh yang begitu terkenal di public dikenal banyak orang di hargai banyak orang, akan menjadi sesukses itu jika di rumah tidak ada yang menurusi segala hal dar mulai kebersihan kerapihan sampai kesehatan. Dan tidak munkin juga anak seorang tokoh yang begitu di kenal dan di hargai, akan menjadi anak yang pintar, bijak, bermoral baik dll. Jika dia tidak di didik di dalam rumah dengan baik.

 

Yogyakarta, 20 Februari 2017
Syifa Rahmi Utami