Bulan: Februari 2017

Perempuan dalam Kelembutan

Perempuan dalam Kelembutan

oleh: Dyah Permatasari

Berjalan dan jauh   ku lihat

Letih, lesu tak bersemangat

Rupanya seorang perempuan tua

Lirih perkataannya mencabikku

Samar-samar ku lihat perempuan itu berkaca mukanya

Sedikit merengut dan berkata

Jangan kau berdiam diri disitu

Mari berjalan dan mengikutiku

Dibawalah aku bertemu bocah  kecil pinggir jalan

Menyusuri lorong  yang bau dan sempit

Rasa sebal mulai menguasai hati

Perempuan itu menghentikan jalanku

Lihatlah…

Kata perempun itu lirih

Aku menatap sejenak kumpulan

Mulianya hati perempuan ini

Perempuan itu ternyata seorang relawan

Membagikan ilmunya kepada anak-anak itu

Terik matahari,tidak dibayar sudah tidak terpintas

Masih adakah perempuan seperti itu…

Sungguh hatiku merinding untuk membayangkan

Perempuan dalam perjalanan

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia

Tokoh revolusioner asal tanah minang Sumatera Barat. Tan Malaka yang masa kecilnya memiliki nama panggilan Ibrahim, dilahirkan di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Ia meninggal pada 21 Februari 1949, saat berumur 51 tahun, di Kediri, Jawa Timur.

Tan Malaka termasuk orang yang gemar menuntut ilmu, pada tahun 1913, tan Malaka berangkat ke Negri Kincir Angin (Belanda) untuk menempuh pendidikan. Di negara inilah Tan Malaka mengalami pergolakan akan ideologi dalam dirinya, disini ia mulai mengenal tentang politik, revolusi, ideologi dialektika materialisme , dan lain sebagainya. [1] disini penulis akan lebih memaparkan tentang pemikiran Tan Malaka akan Revolusi yang terjadi di Indonesia.

Menurut Tan Malaka, revolusi yang terjadi di Nusantara (Indonesia) berbeda halnya dengan revolusi yang terjadi di Prancis dan berbeda pula dengaan revolusi yang terjadi di Rusia. Faktor kelas menjadi tolok ukur Tan Malaka, dimana pada waktu itu ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda terdapat beberapa golongan dalam masyarakat, sifat dan tingkat kemajuan perekonomian serta akhirnya sifat dan keadaan bumi iklim serta teknik yang menjadi pendorong semua perubahan dan dasarnya ekonomi sosial, politik dan kebudayaan berlainan sekali di pelbagai yang tersebut di atas.[2]

Revolusi yang terjadi di Indonesia terjadi karena adanya krisis pertentangan akan ekonomi sehingga menyebabkan terjadinya pertempuran yang pada akhirnya terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah. Pada kala itu Indonesialah yang berjaya yang berhasil meruntuhkan dinasti belanda dan jepang yang pada saat itu menguasai Indonesia.

Namun, menurut Tan Malaka pada masa itu terjadi ketimpangan antara warga asli Indonesia dengan negara penjajah belanda baik dalam segi ekonomi, sosial, politik, pemerintahan dan juga pendidikan, segala aspek ini lebih menitikberatkan kepada Belanda. Perjalanan Revolusi Indonesia sebenarnya sudah di mulai sejak hindia belanda berhasil di singkirkan oleh jepang, pada 8 maret 1942. Meski demikian, penindasan terhadap bangsa Indonesia tidak lantas hilang dengan munculnya “alat penindas” baru yang dinamakan romusa. Hingga pada akhirnya jepang di luluh lantakkan oleh tentara sekutu dengan di jatuhkannya bom atom ke kota Hiroshima, jepang. Di tengah kekacauan itu pula pemuda dan kaum murba mampu merebut kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Di balik itu semua, Tan Malaka merupakan orang yang pertama kali membentuk konsep “Negara Republik Indonesia” , Soekarnopun menyebutnya sebagai “seseorang yang mahir dalam revolusi”. Dengan segala ilmu yang di milikinya yang ia dapat dari pendidikannya di Belanda 24 tahun sebelum kemerdekaan, Tan Malaka juga menjadi pengajar utama di sekolah yang di didirikannya yang dinamakan Sekolah Rakyat yang pada masa awal berdirinya tahun 1921 yang berada di Semarang tepatnya di sekretariat Sarekat Islam pimpinan Semaun. Metode sekolah rakyat yang didirikan Tan Malaka berupa kerakyatan yang bertujuan untuk mengangkat derajat para masyarakat pribumi pada masa itu. Banyak sekali pemikiran pemikiran selain revolusi yang di cetuskan Tan Malaka yang juga memberikan sumbangsih terhadap Bangsa Indonesia, sampai akhirnya ia di tangkap dan di eksekusi oleh militer bangsanya sendiri karena di anggap mengancam stabilitas pemerintahan pada masa itu.

“Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan-(nya) sendiri”. (Tan Malaka)

[1] Abraham Ali Fakih, Dari Penjara ke Penjara Studi Komprehensif atas Perjalanan Hidup,Perjuangan dan Pemikiran Emas Tan Malaka dalam konteks KeIndonesiaan. (Jakarta:Palapa,2015), hlm 16

[2]  Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, jilid III (Jakarta: Teplok PRESS, 2000)hlm 109-115.

 

Rionaldi
Rabu, 15 Januari 2017

Tranformasi Dalam Kehidupan Nyata dari Kehancuran Sebuah Bangsa

Tranformasi Dalam Kehidupan Nyata dari Kehancuran Sebuah Bangsa

Prahara sebuah tema yang diberikan oleh Kahlil Gibran dalam bukunya yang berjudul ”kematian sebuah bangsa” memberikan kita gagasan dan memaksa kita untuk meluangkan segenap waktu untuk memikirkan kebobrokan moral sebuah bangsa yang akan berdampak pada sebuah titik nadir.  Dalam bagian prahara diceritakan bahwa Yusif el fahri yang berusia 30 tahun ia menarik diri dari kehidupan masyarakat ramai dan tinggal dalam sebuah pertapaan yang terasing di sekitar lembah Lebanon Utara.

Banyak orang kampung yang berspekulasi bahwa yusif gila dan sebagian berkata bahwa yusif bersal dari keluarga hartawan terpandang yang dikhianati oleh wanita yang dicintainya. Namun ada juga yang bercerita  ia meninggalkan kehidupan kota agar ia bisa mencatat pikiran-pikirannya dan menyusun inspirasinya. Dia adalah seorang sufi yang puas dengan kehidupan batin.

Suatu hari dimusim gugur Kahlil Gibran berjalan-jalan diperbukitan yang berbatasan dengan pertapan yusif, seketika prahara mengantarkannya dalam sebuah goa yang ditinggali oleh yusif, ketika Kahlil mengetuk pintu ia melihat yusif memegang pada sebelah tangannya seekor burung yang sekarat  kepalanya terluka dan sayapnya patah, yusif  mulai menyentuh kepala burung itu dengan lembut dan sangat  hati-hati namun Kahlil heran melihat dua sifat yang bersamaan dalam diri yusif sifat kejam dan sifat lemah lembut dan penuh kasih sayang sekaligus. Yusif memandang dengan serius kepada Kahlil dan mengatakan   ‘’ aku ingin agar manusia memperlihatkan naluri burung, dan aku ingin agar prahara itu bisa mematahkan sayap-sayap manusia, karena manusia cenderung penakut dan pengecut dan begitu ia merasakan kebangkiitan prahara ia pun berangkat menuju goa untuk bersembunyi”

Memang benar apa yang dikatakan oleh yusif, Ingatkah saudara-saudaraku ketika demonstrasi penisataan agama yang dilakukan gubernur petahana,  umat muslim di negeri kita tercinta bersatu dan  meminta kepala Negara yang sangat dibanggakan dan dicintai sekaligus dibenci lantaran sifatnya yang tidak memiliki kejelasan dalam menjalankan perundang-undangan  untuk turun dan diminta kejelasan  mengenai hal itu, apa yang dilakukan oleh sang kepala Negara itu tidaklah bijaksana dan tidak kesatria, ia tidak memunculkan batang hidungnya sekalipun dalam demonstrasi pada waktu itu dan meminta wakilnya untuk turun, ia telah mencerminkan ketakutan dan ketidak bijaksanaannya dalam hal ini, bukankah ia tidak lebih gagah dari seekor burung dalam cerita Kahlil Gibran?

Kahlil dalam bukunya pun mengatakan ‘’ ya, burung-burung memiliki kehormatan dan keberanian yang tak dimiliki manusia yang hidup dalam bayang-bayang hukum dan adat yang dibuat dan dibentuk dirinya sendiri tetapi burung-burung hidup dalam hukum keabadian dan menyebabkan bumi mencari jalannya yang teguh diseputar matahari, yusif menyahut jika anda menempatkan kepercayaan pada kata-katamu sendiri anda harus meninggalkan peradaban  beserta hukum-hukum dan tradisi yang menyimpang dan hiduplah seperti burung dalam sebuah tempat yang kosong dari segalanya kecuali hukum yang sempurna dari langit dan bumi.

Percaya adalah suatu hal yang bagus tetapi menempatkan kepercayaan dalam pelaksanaan adalah suatu ujian kekuatan, Kahlil mengatan bahwa’’ banyak orang berbicara bagai gemuruh laut namun hidup mereka dangkal bagai rawa-rawa busuk.  Dan banyak orang mengangkat kepala mereka diatas puncak-puncak gunung  tetapi jiwa mereka terlelap dalam keremangan goa raksasa’’

Inilah gambaran negeriku, dinegeriku sangat banyak orang-orang yang demikian, bahkan tidak jarang sang penguasa yang duduk di singgahsana berperilaku demikian, ia yang duduk disana berbicara bagai gemuruh dilaut dan mengobral janji komitmen dan setia terhadap kaum proletar, ia menggilas kaum bawah dengan  tamak dan jahat, bahwa sangat benar apabila yusif tidak mempercayai orang-orang ini yang di tulis dalam bukunya Kahlil Gibran yang bunyinya ‘’ aku meninggalkan peradaban karena roda jiwaku berputar menggilas dengan kasar roda-roda jiwa yang lain  yang berputar menuju arah yang berlawanan. Aku meninggalkan peradaban karena aku tahu ia adalah sebuah pohon tua yang rusak, kuat dan mengerikan yang akar-akarnya terpendam dalam kesuraman bumi dan dahan-dahannya menggapai mega, namun bunga-bunganya adalah ketamakan, kejahatan dan penganiayaan, dan buahnya adalah kesengsaraan, penderitaan dan ketakutan’’.

Lebih tegas lagi dan lantang yusif mengatakan ‘’ aku mencari kesunyian untuk menyembunyikan diri dari orang-orang yang memuaskan diri sendiri yang melihat hantu ilmu pengetahuan dan dalam mimpi-mimpi mereka, mereka telah sampai tujuan,  aku melarikan diri dari masyarakat demi menghindari orang-orang yang hanya melihat hantu kebenaran dalam kebangkitan mereka dan berteriak kepada dunia bahwa mereka telah memperoleh hakikat dengan sempurna, kutinggalkan dunia ramai dan mencari kesunyian karena aku telah bosan memberi penghormatan kepada orang-orang yang percaya bahwa kerendahan hati adalah semacam kelemahan dan kasih sayang adalah semacam sikap pengecut dan kecongkakan adalah bentuk kekuatan”.

Inilah bangsaku yang mati kesakitan dan kematian yang memalukan, inilah tragedi mendalam yang selalu bermain diatas panggung hati, sedikit orang yang mau menyaksikan drama ini, karena bangsaku seperti burung yang sayapnya telah patah dan tinggal oleh kawanannya.

Bangsaku penuh dengan orang-orang tamak dan orang yang tidak memiliki syukur atas nikmat dari Tuhannya, digambarkan oleh Kahlil Gibran dengan sebuah bunga violet yang iri pada mawar, violet meminta kepada dewa agar mengubah dirinya menjadi mawar, akhirnya alam meregangkan jari jemari misterius dan magisnya, dan menyentuh akar-akar violet dengan serta merta menjadi setangkai mawar yang tinggi.

Pada senja hari langit menjadi tebal dan menjadi hitam, elemen-elemenm yang tinggi terganggu keberadaanya oleh Guntur dan menyerang tanaman-tanaman itu, prahara mencabik dahan-dahan dan menumbangkan tanaman serta mematahkan tangkai-tangkai yang tinggi, seraya mengadahkan kepalanhya dan memandang tragedi yang menimpa bunga-bunga dan pepohonan salah satu dari gadis violet tersenyum dan menyeru pada teman-temannya berkata “ saksikanlah apa yang telah dilakukan prahara terhadap bunga-bunga angkuh itu”, violet yang lain berkata “kita memang kecil  dan tinggal berdekatan dengan bumi tapi kita selamat dari kemarahan langit”,  mudah-mudahan pemimpin kita hari ini tidak angkuh dan tidak tamak atas apa yang diberikan kepadanya, semoga alam tidak mengamuk atas kecerobohan manusia yang penuh dengan sifat bodoh namun tetap menjulangkan kepalanya keatas langit, beridiri diatas gunung dan menolak pendapat rakyat seolah ia yang paling benar, semoga alam mengampuni dan tidak meludahi mulut kotor yang penuh janji atas kesehjateran rakyat dan otak kosong orang-orang angkuh ini.

 

Octavianes Ryan
Rabu, 15 Februari 2017

Pergerakan Mahasiswa : Bangku Kuliah dan Turun Kejalan

Pergerakan Mahasiswa : Bangku Kuliah dan Turun Kejalan

Dr. Mohtar mas’oed mengatakan bahwa “Mahasiswa adalah makhluk istimewa. Secara sosial merekapun  juga istimewa. Mahasiswa memperoleh status istimewa pula dan serta bisa menikmati fasilitas yang istimewa juga tentunya.” Didalam dunia perpolitikan mahasiswa juga dirancang sebagai agen pengawasan (agent of control) dan sebagai agen perubahan untuk menuju yang lebih baik.

Gerakan berpolitik mahasiswa saat ini sering ditunjukkan dengan gerakan aksi turun kejalan dengan membawa massa yang cukup banyak. Tetapi dengan melakukan aksi tersebut mahasiswa harus mengacu kepada idealisme kerakyatan, yakni mengkritisi kebijakan pemerintah serta memberikan solusi yang tepat terhadap realita yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya aksi turun kejalan tidak jarang kritikan dan solusi yang diberikan mahasiswa diterima oleh pemerintah seperti halnya aksi BELA RAKYAT di Yogyakarta yang digelar oleh Forum BEM DIY yang menuntut dicabutnya PP nomor 60 tahun 2016. Tapi tentunya belum tentu pemerintah langsung serta merta mencabut PP tersebut karena saya rasa masih perlu dikaji ulang terkait PP nomor 60 tahun 2016.

Itu adalah contoh kecil dari gerakan berpolitik dari kalangan mahasiswa sebagai agent of control dan agent of change. Tetapi saat berada didalam kampus, para akademisi seolah – olah ingin sekali membuat para mahasiswanya memperoleh nilai A bahkan A+ yang notabene hanya dicekoki teori dari suatu mata kuliah dan memaksa kita untuk lulus dengan predikat cumlaude dan tidak berusaha untuk membuat mahasiswanya bisa berpikir kritis terhadap suatu persoalan maupun isu yang beredar.

Jadi yang ingin saya tekankan disini bahwa para mahasiswa tidak hanya tau tentang teori – teori saja, akan tetapi mereka juga sebaiknya mampu untuk berpikir kritis serta aktif tetapi masih patuh aturan. Yang menjadi persoalan adalah mahasiswa tidak diajari untuk berpolitik secara tepat serta tidak diikutsertakan dalam membuat aturan main.

Akibatnya, tidak sedikit pula mahasiswa yang menganggap bahwa dirinya tidak bermakna apapun dalam berpolitik maupun pembuatan aturan main dan nampak jelas sekali apatisme dari kalangan mahasiswa bahkan mungkin mereka berpikiran “ mending aku jajan dikantin daripada panas – panasan dijalan kayak gitu”

Difa Aridlilhaq Asyakiri
Munggu, 15 Januari 2107